POLITIK LUAR NEGERI MALAYSIA

Sejak kemerdekaan Malaysia 1957, kebijakan luar negeri yang dijalankan berpengaruh dengan pemegang pimpinan Negara. Selain itu, pertimbangan politik serta ekonomi salam negeri juga keadaan regional dan international menjadi factor yang menentukan dalam perumusan kebijakan luar negeri Malaysia segera setelah Negara tersebut merdeka dan masa selanjutnya .

Kemerdekaan Malaysia dicapai ketika pemberontakan komunis masih berkelanjutan dan Negara masih dalam keadaan darurat, menyebabkan Negara tersebut sangat anti komunis. Oleh sebab itu lebih dari satu dasawarsa kemudian kebijakan luar negeri Malaysia sangat pro-Barat. Tenku secara terang menyatakan :

“Bila terjadi konflik antara dua ideology barat dan timur (komunis), maka saya telah mengatakan secara terus terang bahwa kami memihak ideology barat” .

Tenku berpendapat bahwa dengan mengikuti gerakan pembentukan dunia ketiga ini akan menimbulkan masalah yang serius, sebab seolah-olah memberi hati kepada Partai Komunis Malaysia (PKM) yang orientasi politiknya adalah RRC. Sedangkan PKM yang merupakan ancaman yang serius . Selain itu keterlibatan dalam gerakan yang dijiwai oleh RRC, mengancam perekonomian Malaysia yang berorientasi ke Barat. Terganggunya bantuan ekonomi Barat akan mempersulit pembangunan ekonomi yang bertujuan memperbaiki ekonomi semua golongan.

Sikap politik luar negeri yang diambil oleh Tenku, menimbulkan suatu dilemma. Disatu pihak terjadi ketegangan hubungan antara Indonesia-RRC, menyebabkan buruknya hubungan Malaysia-Indonesia. Dipihak lain, sudah lama Tenku menginginkan kerjasama yang erat dengan Negara-negara di Asia Tenggara untuk menunjang pembangunan Malaysia.

Tan Sri Ghazali menegaskan bahwa politik luar negeri Malaysia dibimbing oleh keperluan untuk bergerak bersama Negara tetangganya sejauh mungkin dalam masalah esensiil . Masalah esensiil tersebut adalah integritas wilayah, yang dengan sendirinya menyangkut kemungkinan tekanan yang dating dari Negara besar. Kerjasama regional ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang dapat mengancam integritas wilayah Malaysia.

Tahun 1971 saat Tun Razak berkuasa, pemerintah bersifat netral padapolitik luar negerinya, dengan maksud untuk mengatasi instabilitas kemacetan ekonomi dan ancaman regional. Sikap tersebut di realisir dengan kesediaan Malaysia menjalin persahabatan dengan Negara manapun tanpa membedakan ideologinya. Sebagai tindak lanjut dari kebijaksanaan itu, Malaysia membuka hubungan diplomatiknya dengan RRC yang ditandatangani pada 31 Mei 1947 .

Hubungan dengan RRc makin dirasakan penting, sebab Malaysia melihat Uni Soviet cenderung ingin mempertahankan kedudukannya di Asia Tenggara melalui Vietnam . Konflik Uni Soviet dengan Cina dan persaingan globalnya dengan AS dalam perebutan pengaruh, menjadikan Vietnam sebagai senjata ampuh bagi Uni Soviet. Atas bantuan yang telah diterimanya, maka Vietnam memberikan posisi strategis bagi Uni Soviet yaitu melalui akses di Teluk Cam Ranh dan Da Nang. Pemerintah Kuala Lumpur perlu mendapatkan kawan (kekuatan) yang akan menjadi penghalang bagi penerobosan Vietnam ke Negara Aia Tenggara lainnya, termasuk Malaysia. Dengan adanya hubungan Vietnam-Uni Soviet dan persaingan kedua Negara itu dengan RRC, maka Malaysia memerlukan peranan RRC untuk maksud di atas.

Pada pemerintahan Mahathir Muhamma, politik luar negeri Malaysia mengalami perubahan yang mencolok, terlihatketika ia meluaskan orientasi politik luar negerinya yang tidak lagi ke Barat. Menurutnya orientasi pembangunan Malaysia yang selama ini dititik Baratkan pada model barat khusunya Inggris sudah tidak bisa dilakukan lagi, sebab :

“Negara-negara Barat tidak lagi membuat kemjuan-kemajuan di bidang teknologi, disamping itu masyarakat mereka ditandai oleh sikap materialistis mementingkan diri sendiri, atheis dan mengeksploitasi umat manusia sehingga tidak dapat lagi menjadi contoh bagi pembangunan ekonomi manapun pengembangan kehidupan bermasyarakat di Malaysia”

Kebijaksanaan luar negeri Mahathir dipengaruhi oleh masalah yang timbul dari internal Islam. Ia menempatkan hubungan Malaysia dengan Negara Islam pada urutan kedua setelah ASEAN dalam prioritas kebijaksanaan luar negeri . Kebijakasanaan ini dilakukan sebagai usaha untuk membungkan isu politik yang di kembangkan oleh PAS dan kelompok Islam Ekstrim lainnya, dimana mereka menyebutkan bahwa kegiatan modernisasi yang berorientasi ke Barat dan perbatasan gerakan politik Islam di Malaysia merupakan salah satu usahanya untuk mengisolir Malaysia dan gerakan Islam Internasional dan dengan hal tersebut memantapkan sekularisasi Malaysia.

REFERENSI
Abdullah, Malaysia : Integrasi Nasional dan Politik Luar Negeri dalam Lie Tek Tjeng (ed)
Pathamanathan, Murgesu, Reading in Malaysia Foreign Policy (KL. University of Malaya Cooperative Book Shop, 1979), hal. 94-95 : Stephen chee “Malaysia’s changing foreign Policy dalam”Young Mun Cheong, Trends in Malaysia II (Singapore : ISEAS, 1974)
Shafie, M. Ghazalie, Malaysia International Relation (KL. Creative Enterprice SDN BHN, 1982),

PEMIKIRAN POLITIK NEW LEFT

Teori marx mengenai kelas, perjuangan kelas, perkembangankapitalisme, revolusi social, materialisme histories dan lain-lain telah dikritik dengan sangat keras.. begitu kerasnya keritik itu, Marxisme seakan kehilangan relevansi teoritis dan praxisnya dewasa ini. Lalu, yang tetap mengikat dari Marxisme seakan-akan hanyalah semangat pembebasannya belaka. Max Weber, Ralf Dehrendorf, Ali Syariati Karl Popper, Muttahari, adalah sejumlah kecil ilmuan yang mengkritik Marxisme dalam karya-karya mereka.

Semakin dikritik dan dikecam, Marxisme tetap tidak kehilangan daya tarik. Terbukti dengan banyaknya kalangan akademisi, aktivis dan ideology (juga demagog) merevitalisasi dan mengkontekstualisasi ajaran-ajaran Marx sesuai dengan episode sejarah mereka sendiri. Lahirnya faham komunisme (1917), aliran Frankfurt di Jerman, Teori Dependensia di Amerika Latin dan Faham kiri baru (new leftism) di Amerika Serikat dan Eropa merupakan contoh tentang upaya itu.

New Left sebenarnya tidak begitu besar pengaruhnya di Barat, dibanding misalnya dengan aliran Marxis lainnya. Irving Howe mencatat bahwa pengaruh gerakan ini hanya menyentuh segelintir segmen social Amerika di antaranya kaum intelektual dan mahasiswa kampus-kampus terkemuka. New Left kurang berpengaruh pada institusi-institusi utama dan kelompok-kelompok social yang justru merupkan agen-agen revolusi. Misalnya kelas-kelas pekerja (the warking class). Di Barat gerakan ideology New Left telah semaput meski uniknya di Indonesia ideology ini justru menunjukkan tanda-tanda “kebangkitannya”. New Left, juga beberapa aliran Kiri lainnya seperti Marxisme, Sosialisme Demokrasi dan bahkan komunisme telah dijadikan model ideology alternative bagi segmen-segmen social tertentu di Indonesia.

A- KONTEKS HISTORIS NEW LEFT

New Left adalah ‘kejutan’ dalam sejarah pemikiran dan pergerakan social kaum muda di Amerika Serikat maupun di Negara-negara Eropa. Ideology new Left hadir di tengah-tengah peradaban Barat, khususnya Amerika dan beberapa Negara Eropa,yang kapitalistik dan modern pasca Perang Dunia I dan II New Left merupakan ‘anak kandung’ sebuah generasi yang membisu dan decade 1950an.

Sarjana sepertiJohn P. Diggins melacak konteks histories dan factor-faktor yang membentuk gerakan intelektual ini. Pada dua decade awal XX dunia mengalami depresi ekonomi amat parah. Amerika Serikat termasuk Negara Barat yang paling parah menanggung akibat depresi ekonomi itu. Keadaan ini semakin parah dengan meledaknya Perang Dunia I (1914-1919) dan Perang Dunia II (1938-1945). Namun demikian, pasca depresi ekonomi dan perang dunia itu Amerika Serikat berhasil bangkit dan menuju ke fase kemakmuran ekonomi. Pendapatan rakyat Amerika meningkat signifikan, industri dan korporasi Negara dan swasta berkembang pesat, perdagangan luar negeri menunjukkan peningkatan berarti. Masyarakat Amerika Serikat lalu menjadi sebuah masyarakat makmur (the affluent society) di dunia. Dalam konteks masyarakat seperti itulah lahir kaum muda yang kemudian mengklaim dirinya sebagai New Left.

Mereka adalah generasi yang orang tuanya lahir dan dibesarkan dalam decade 1930-1940-an. Perbedaan zaman itulah yang membedakan kedua generasi itu. Generasi 1930-1940-an adalah generasi yang mengidap berbagai persoalan hidup, trauma psikologis amat parah akibat Perang Dunia I dan II, kekejaman militerisme, depresi ekonomi yang melaratkan jutaan manusia dengan segala implikasinya, merajalelanya totalitarianisme dalam bentuk fasisme dan komunisme dan lain-lain. Generasi ini hidup dalam kesengsaraan yang amat parah. Bagi kaum Yahudi Amerika, trauma psikologis yang dialami lebih parah lagi. Kita mafhum sebagian komunitas Yahudi yang bermukim di Amerika adalah para migran dari beberapa Negara Eropa terutama Jerman. Mereka bermigrasi ke Amerika karena menghindari kekejaman fasisme Hitler. Di Amerika, kaum Yahudi ini merasa at home dan berhasil mengembangkan kehidupan ekonomi dan intelektualnya jauh lebih maju dibandingkan kaum migran lainnya.
Generasi New Left dilahirkan dalam kehidupan makmur pasca krisis. Namun di sini letak persoalannya. Kemakmuran ekonomi dan material justru membuat generasi baru ini berjarak dengan generasi orang tua mereka. Ada semacam ‘jurang generasi’ (generation gap) yang cukup dalam di antara dua kedua generasi itu yang terbukti dari kemarahan dan kebencian generasi baru itu terhadap generasi orang tua mereka. Kaum muda menolak hegemoni dan dominasi orang tua atas diri mereka. Klaim-klaim sepihak orang tua bahwa anak harus patuh dan hormat kepada orang tua dianggap, mengutip Diggins, ‘pembudakan institusional’. Otoritas orang tua terhadap anak bersifat eksploitatif, menindas, dan tidak berbeda dengan perbudakan yang dilembagakan.

B- OLD LEFT DAN NEW LEFT

New left merupakan salah satu varian pemikiran Kiri di abad XX. Sebagai aliran pemikiran (dan praxis politik), ia memiliki kesamaan dengan aliran pemikiran Kiri pada umumnnya. Ada perdebatan seputar pemahaman apakah makna kiri itu, suatu jargon ideology ataukah sepenuhnya berkonotasi akademis. Kiri menurut beberapa sarjana ilmu politik sepenuhnya istilah akademik. Istilah itu biasa dipakai dalam wacana-wacana keilmuan, khususnya ilmu politik. Kiri, menurut Kazuo Shimoghaki, berarti kelompok radikal, sosialis, komunis, anarkis, reformis, progresif atau liberal. Dari perspektif sejarah, orang-orang diidentifikasi sebagai kaum kiri menurut Shimoghaki mulai muncul di zaman Revolusi Perancis (1789).

Paul John Diggins dalam buku yang telah kita kutip di atas The American Left in the XXth Century mendefinisikan Kiri sebagai kelompoksosial politik yang memiliki beberapa karakteristik berikut, Kiri umumnya dinisbahkan kepda mereka yang menghendaki perubahan tatabab social politik yang ada. Kebalikan dari kelompok ‘kanan’ (Rightist) yang berupaya mempertahankan tatanan social itu. Kedua, ‘kiri’ berkonotasi pada cita-cita politik Eropa seperti kebebasan (liberty), keadilan (justice), persamaan (equality), dan demokrasi (democracy). Ketiga ‘kiri’ sering diasosiasikan dengan pembelaan terhadap (hak-hak) demokrasi ekonomi.
Diakui kaum ‘kiri’ bahwa liberalisme telah berhasil mendemokratisasi lembaga-lembaga politik di satu sisi. Namun, di sisi lain liberalisme gagal mendemokratisasi kehidupan ekonomi rakyat banyak. Mayoritas rakyat tetap miskin, sementara segelintir kapitalis menguasai akumulasi modal dan alat-alat produksi. Keadaan ini menurut kaum ‘kiri’ harus diubah dengan mengakhiri kapitalisme dan mempromosika sosialisme.

‘kiri’ juga memiliki tradisi pembangkangan. Pembangkangan ini bukan bagian dari filosofi, tetapi taktik atau metode protes dan berkomunikasi dengan public. Pembangkangan ditujukan kepada otoritas Negara atau tirani mayoritas. Tradisi pembangkangan bersifat individualistic, anarkis, spiritualistic dan mistis. Tradisi ini menyebabkan sejarah pergerakan kaum ‘kiri’ di banyak Negara umumnya diwarnai oleh gerakan-gerakan oposisi terhadap kekuatan-kekuatan penindas. Keempat, ‘kiri’ berkonotasi rasionalisme dan ideology. Sebagai sebuah systematic mind, ‘kiri’ merasa optimis dengan kebaikan alami manusia. Kebalikan dari pandangan kaum ‘kanan’ yang lebih mementingkan emosi daripada akal sehat dan menilai manusia berdosa.

Old left adalah salah satu varian kaum kiri. Umumnya generasi Old Left terdiri dari orang-orang Yahudi Rusia dan keturunan Eropa Timur yang lahir di Amerika (khususnya New York) atau bermigrasi ke Amerika karena berbagai alasan. Mereka adalah generasi yang dilahirkan dalam suasana depresi , kekacau-kacauan akibat perang, maraknya gerakan fasisme di Eropa dan kebangkitan komunisme di Uni Soviet maupun Eropa Timur. Berbagai implikasi social, intelektual, politik dan cultural dari peristiwa-peristiwa itu membentuk karakter generasi Old Left Amerika khususnya pada decade 1930-an. Ketakutan, kecemasan, kekecewaan dsan perasaan-perasaan tidak aman akibat depresi dan peperangan membentuk karakter generasi Old Left.

C- WRIGHT MILLS DAN HERBERT MARCUSE

Dari sisi histories, New Left sebenarnya merupakan produk evolusionis histories pemikiran-pemikiran kiri yang berkembang sebelumnya di Barat, antara lain pemikiran Old Left. New Left bisa dikatakan sebagai sebuah kelanjutan, kritik dan otokritik dari Old Left. Keduanya juga sama-sama aliran marxis. Pemikiran-pemikiran Marx kental mewarnai corak kedua aliran kiri itu. Perbedaannya hanyalah pada sisi dimana Old Left lebih berorientasi pada jajaran-jajaran Marx Tua sementara New Left (setidaknya pada awal perkembangannya) ajaran-ajaran Marx muda.

Pemikiran Old Left seperti C. Wright Mills turut membidani kelahiran gagasan-gagasan New Left khusunyadi era 1950-an. Oleh karena itu, ia kemudian dinisbahkan sebagai seorang tokoh penting aliran New Left. New Left juga mengadopsi pemikiran tokoh lain seperti Herbert Marcuse, Erich Fromm, Paul Castro, Franz Fanon dan lain-lain. Di sini saya akan menguraikan beberapa pemikiran tokoh tersebut yang dinilai signifikan dalam pembentukan karakter pemikiran New Left.

C. Wright Mills menurut Diggins tokoh utama yang memberikan inspirasi bagi gerakan-gerakan New Left. Dalam riwayat hidupnya, Mills dilukiskan sebagai seorang skeptis, pragmatis dan radikalis. Dia juga dikenal sebagai Marxis dan Machievellianis yang memuja kekuasaan. Dari karya-karyanya, para mahasiswa belajar tentang hegemoni ideologis elite-elite penguasa, mitos-mitos penelitian empiris dan pentingnya untuk merumuskan sebuah teori sosiologi yang mampu mengkonfrontasikan hubungan-hubungan manusia secara moral. Di atas itu, Mills dianggap tokoh penting tradisi kritisme dan pembangkang social budaya Amerika kontemporer. Adapula yang menganggapnya sebagai representasi populisme Midwestern dan aliran filsafat politik egalitarian Amerika.

“Balada Sebuah Buku”

BUKU adalah :

Sahabat yang tidak akan pernah meninggalkan atas kekuranganmu
Teman yang tidak pernah memanfaatkan kelebihanmu
Sobat yang tidak akan pernah menertawakan atas kebodohanmu
Kawan yang selalu siap membantumu

Banyak orang yang kurang memahami serta menyadari, bahkan belum mengetahui betapa pentingnya arti sebuah buku di dalam kehidupan. Banyak orang yang menganalogikakan bahwa buku termasuk sesuatu yang dapat membosankan, menjenuhkan terlebih lagi memuakkan. Padahal, dari sesuatu yang dianggap membosankan tersebutlah di mana pola pikir seseorang terbentuk.

Kalau kita umpamakan otak bak sebuah pisau, sedangkan buku merupakan asahan dari pisau tersebut. Maka, semakin pisau tersebut di asah, semakin tajamlah pisau tersebut, begitupula dengan otak kita. Semakin banyak kita membaca buku maka semakin tajam pula daya intelektual kita. Di samping itu banyak pembendaharaan kata juga yang akan kita dapatkan dari padamya.

Walaupun buku amat terasa membosankan, menjenuhkan, bahkan memuakkan khususnya tertuju bagi kita yang tidak mencintai membaca, akan tetapi Buku merupakan sesuatu yang jika kita pandang maka akan memberikan kenikmatan yang panjang, dia akan menajamkan intelektual, membuat lidah tidak kelu, dan membuat ujung jemari semakin indah. Dia akan memperkaya ungkapan-ungkapan kita, akan menenangkan jiwa, dan akan mengisi dada. Buku akan memebrikan ‘penghormatan orang-orang awam dan persahabatan dengan pejabat-pejabat’ kepada kita. Dengannya kita akan mengetahui sesuatu dalam sebulan. Satu hal yang kita tidak bias kita dapatkan dari mulut orang selama satu masa. Dengannya, kita juga bias menghindarkan hutang dan kesusahan mencari rezeki. Dengan buku, kita tidak harus bersusah-susah menghadap seorang pengajar yang mencari makan dari honor mengajar, tidak harus belajar dari orang yang secara akhlak lebihrendah dari kita, dantidak harus duduk bersama orang-orang yang hatinya penuh kedengkian dan orang-orang yang kaya .

Marilah kawan-kawan kita harus menyadari bahwa buku meerupakan pilihan terbaik bagi orang-orang yang kosong untuk menghabiskan waktu siangnya, dan bagi orang-orang yang suka bersenang-senang untuk menghabiskan malam-malam mereka. Di samping itu tanpa kita sadari, buku dapat memberikan dorongan untuk mencoba, menggunakan nalarnya, membentuk kepribadiannya, menjaga kehormatan mereka, meluruskan agama mereka, dan mengembangkan harta mereka. Oleh karena itu, kita harus mencoba untuk mencintai sebuah buku yang mana buku tersebut merupakan teman kecil yang selalu menemani dan bermanfaat di dalam kehidupan kita, walaupun kadang-kadang kita merasa bosankan, jenuh bahkan memuakkan. Akan tetapi bukulah salah satu yang dapat memberikan kontribusi besar untuk kemajuan kita. Karena, tidak ada pengaruh kecuali setelah kita mencobanya.

Sesuai dengan firman Allah SWT : “ Ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu (kepada orang kafir) dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Al-A’raf : 1)


Created By : Reza Fajrin

Mesin Devisahku Yang Malang

TKI dan TKW. Siapa yang tidak kenal dengan mereka?
mereka adalah pahlawan penghasil devisa bagi bangsa ini. Namun, sayangnya mereka malah di sepelehkan dan dipandang kecil oleh bangsa ini, seakan-akan mereka tidak ada artinya. Mengapa demikian? faktanya beberapa kasus pelecehan, pemerkosaan, penganiayaan, dan bahkan klimaksnya sampai pada tingkatan pembunuhan yang terjadi pada pahlawan penghasil devisa ini, akan tetapi negara lebih mengambil untuk berdiam diri dibandingkan untuk membela dan memperjuangkan hak mereka selaku warga negara. Pemerintah lebih sibuk dengan urusan untuk membuang-buang anggaran belanja negara dibandingkan untuk merawat mesin penghasil devisa yang mana devisa tesebut tidak lain untuk menambah pendapatan negara yang pada akhirnya dapat membayar hutang-huatang luar negeri agar bangsa ini dapat terlepas dari jeratan krisis yang melanda bangsa ini.

Siapa yang harus disalahkan jika hal tersebut terjadi? dimana fungsi negara jika ada dari warganya merasa terancam dan terbatasi haknya? Jelas, jawabannya adalah pemerintahlah yang harus bertanggung jawab dengan hal tersebut. mengapa pemerintah tidak memberikan standarisasi bagi para calon TKI or TKW yang hendak dikirim ke negara tujuan. seharusnya peemrintah lebih waspada dan teliti, tidak sembarangan mengirim pekerja yang berada di bawah level kualitas karena hal tersebut dapat mengancam pekerja itu sendiri. faktanya yang terjadi sudah banyak para pekerja Indonesia bukannya mendapat hak dan perlakuan yang layak dari profesi mereka akan tetapi justru mereka malah dicemohkan oleh para majikan mereka dan bahkan uang gaji yang seharusnya menjadi hak mereka justru malah tidak mereka dapatkan.

siksaan demi siksaan, terus menggerogoti tubuh mereka rasa takut terus menghantui mereka, negara yang harusnya memberikan perlindungan kepada mereka justru malah menyepelehkan mereka. negara justru lebih mengurusi hal-hal yang dianggap kurang penting seperti kasus "MANOHARA" yang notabennya bukan sebagai penghasil devisa namun hanya kasus pribadi, dibandingkna membela para pahlawan penghasil devisa bangsa ini yaitu TKI. oleh karena itu, Pemerintah seharusnya lebih arif dan bijaksana terhadap warganya dan tidak memandang sesuatu dengan sebelah mata karena fugsi negara adalah untuk melindungi rakyatnya dan memberika kesejahteraan kepada rakyatnya.

Reza Fajrin
Mahasiswa HI UNAS

SISTEM POLITIK VERSI EASTON

SISTEM POLITIK
Hasil Laporan Bacaan David Easton Bab III - V
Oleh : REZA FAJRIN


Sebelum membahas lebih lanjut pemikiran Easton tentang sistem politik, kiranya terlebih dahulu perlu kita ketahui bahwa David Easton dikenal sebagai teoritis politik pertama yang memperkenalkan pendekatan sistem dalam ilmu politik. Menurut pendekatan ini, setiap sistem tentu memiliki sifat pertama, terdiri dari banyak bagian-bagian ; kedua, bagian-bagian itu saling berinteraksi dan saling tergantung ; ketiga, sistem itu mempunyai perbatasan (boundaries) yang memisahkannya dari lingkungannya yang juga terdiri dari sistem-sistem lain. Dan berdasar definisi Easton tentang politik, sistem politik adalah bagian dari sistem sosial yang menjalankan alokasi nila-nilai (dalam bentuk keputusan-keputusan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan) yang alokasinya bersifat otoritatif (yaitu dikuatkan oleh kekuasaan yang sah) dan alokasi yang otoritatif itu mengikat seluruh masyarakat. Dalam masyarakat modern, otoritas atau kekuasaan yang sah yang memiliki wewenang sah untuk menggunakan kekuasaan-paksaan berbentuk Negara.
Untuk memudahkan kita dalam memahami sistem politik, di sini penulis mencoba memberi penafsiran sistem politik secara sederhana yang di kemukakan oleh Easton. Easton mendefinisikan Sistem adalah kesatuan dari seperangkat struktur yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem politik adalah kesatuan dari seperangkat struktur politik yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja untk mencapai tujuan suatu negara.
Sedangkan pengertian politik, Easton menerjemahkan politik sebagai "proses alokasi nilai dalam masyarakat secara otoritatif." Pengertian politik sebagai alokasi nilai yang bersifat otoritatif ini menandai 2 tahap pembentukan teori sistem politiknya. Perhatian pada nilai sebagai komoditas yang dinegosiasikan di dalam masyarakat merupakan titik awal berlangsungnya suatu proses politik. Namun, proses alokasi nilai ini tidaklah dilakukan secara sembarang atau oleh siapa saja melainkan oleh lembaga-lembaga masyarakat yang memiliki kewenangan untuk itu.
Begitu juga halnya, untuk dapat memperoleh jalan yang terbaik untuk memahami makna status teoritis sistem politik maka alangkah baiknya kita mengawalinya melalui unit sosial yang paling inklusif yang kita sebut masyarakat. Alasannya, karena masyarakat biasanya dipandang sebagai entitas yang paling lengkap di mana sistem-sistem di dalamnya dapat dievaluasi. Sistem dengan demikian merupakan abstraksi masyarakat yang sebenarnya. Selain itu, fenomena masyarakat apa pun dapat dipandang sebagai satu atau sejumlah sistem.
Di samping itu, ada satu hal penting yang perlu diungkapkan bahwa interaksi politik membentuk sistem analitis. Hal ini mencoba menunjukkan makna dari usaha membangkitkan citra empiris sistem yang demikian. Sejalan dengan hal tersebut, berangkat dengan pendapat bahwa sistem politik adalah merupakan sistem manusia sebagai makhluk biologis, maka akan terdapat kesulitan.
Namun kedudukan mereka sebagai makhluk biologislah yang nampaknya akan kita kaji lebih dalam. Pada prinsipnya, kita membayangkan setiap individu sewaktu ia berinteraksi satu sama lain dan mereka semua saling mempengaruhi bersama-sama, dan berlangsung sepanjang waktu untuk membentuk suatu gambaran yang sederhana dan sangat memuaskan sebuah sistem politik.
Berangkat dari hal tersebut bahwa semua sistem tingkah laku bersifat analitik. Untuk tujuan-tujuan yang terbatas, beberapa diantaranya bersifat diferensiatif, spesifik dan terpadu, ini dapat kita sebut organisasi-oganisasi, sistem peranan ataupun keanggotaan sistem. Namun yang lainnya bersifat menyebar dan tidak diferensiatif yang terlibat di dalam rangkaian jenis interaksi analitikal lainnya.
Dalam masyarakat yang diferensiatif berbagai peranan khusus yang timbul dalam sistem politik nampaknya menduduki hampir seluruh interaksi manusia sebagai makhluk biologis, paling tidak merupakan bagian terbesar daripadanya sehingga manusia di identifisir dengan nama serta peran itu sendiri.
Pada dasarnya, kita dituntut untuk dapat mengidentifikasikan sistem politik yang mana hal tersebut bertujuan untuk dapat membedakannnya dengan yang lainnya. Dalam identifikasi ini, setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu unit-unit dalam sistem politik dan pembatasan. Adapun mengenai pembatasan, ini perlu diperhatikan ketika kita membicarakan sistem politik dengan lingkungan.
Di dalam kerangka kerja suatu sistem politik, terdapat unit-unit yang satu sama lain saling berkaitan dan saling bekerja sama untuk mengerakkan roda kerja sistem politik. Unit-unit ini adalah lembaga-lembaga yang sifatnya otoritatif untuk menjalankan sistem politik seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, lembaga masyarakat sipil, dan sejenisnya. Unit-unit ini bekerja di dalam batasan sistem politik, misalnya cakupan wilayah negara atau hukum, wilayah tugas, dan sebagainya.
Kembali pada pembahasana tetang interaksi politik maka dalam konteksnya yang paling luas, penelitian kehidupan politik seperti halnya dalam ekonomi, keagamaan, atau aspek-aspek kehidupan lainnya, dapat dijelaskan sebagai seperangkat interaksi sosial yang berlangsung diantara sejumlah besar individu dan kelompok-kelompok. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa, interaksi merupakan kesatuan analisis dasar.
Untuk selanjutya kita akan mengadakan pengujian interaksi politik. Faktor yang membedakan interaksi-interaksi politik dari semua jenis interaksi sosial lainnya adalah bahwa seluruh rangkaian interaksi tersebut secara dominan beorientasi ke arah alokasi nilai-nilai otoritatif bagi sebuah masyarakat. Penelitian politik, dengan demikian akan mencoba memahami sistem interaksi tersebut di dalam sebuah masyarakat melalui ikatan atau alokasi otoritatif yang demikian ditetapkan dan dilaksanakan. Jadi singkatnya, alokasi-alokasi otoritatif mendistribusikan berbagai hal penting di antara orang-orang atau sejumlah kelompok lewat satu atau lebih dari tiga cara yang tersedia.
Alokasi bisa menghilangkan suatu nilai yang sudah dipunyai oleh seseorang atau mungkin pula menghalangi proses pencapaian nilai-nilai lain yang akan diperoleh atau bisa juga memberikan kepada sejumlah orang peluang untuk menggunakan nilai-nilai sembari menghujad yang lain.
Dalam rangka menjaga sistem politik masyarakat secara lebih utuh berbeda dari sistem yang kurang inklusif, di dalam buku ini Easton akan menunjukkan pada sistem politik intenal berbagai kelompok dan organisasi sebagai ‘parapolitical sistem’ dan ‘polical system’ untuk kehidupan politik dalam unit yang paling inklusif untuk di analisa yaitu dalam masyarakat.
Pada dasarnya, antara parapolitical system dan political system memiliki kesamaan dalam hal proses-proses dan struktur. Namun dalam substansinya keduanya memiliki perbedaan, dalam hal ini sekurangnya terdapat dua hal penting yaitu ; pertama, merupakan aspek-aspek subsistem dalam masyarakat dan kedua, parapolitical system hanya bersangkutpaut dengan alokasi otoritatif di dalam kelompok.
Selanjutnya pembahasan selanjutnya yang akan dibahas adalah mengenai lingkungan dalam sistem politik.
Telah ditandaskan bahwa derajat perbedaan-perbedaan sitem-sistem politik dari dari sistem-sistem sosial lainnya dan oleh karena itu, kita bisa menambahkan kejelasan batasan antara sistem-sistem tersebut satu sama lain dapat ditandai lewat sifat-sifat sebagai berikut :
1- Tingkat perbedaan sejumlah peran dan aktivitas politik dari peran dan aktivitas lainnya atau sebaliknya, sejauh mana ia ditempatkan dalam struktur-struktur yang terbatas seperti keluarga dan kelompok-kelompok persaudaraan.
2- Sejauh mana para pelaku peran-peran politik membentuk kelompok yang terpisah dalam masyarakat dan memiliki perasaan solidaritas dan kohesi.
3- Sejauh mana peran-peran politik mengambil bentuk hirarki yang bisa dibedakan dari hirarkilainnya atas dasar faktor kekayaan, martabat, atau kriteria non politik lainnya.
4- Sejauh mana proses-proses pengarahan dan kriteria pemilihan membedakan pelaku-pelaku sistem politik dibandingkan dengan peran-peran lainnya.
Kesimpulan
Ciri-ciri sistem politik yang membedakan dengan sistem sosial
lainnya dan juga sistem mekanik dan biologis, ialah bahwa ia tidak harus
tidak berdaya dalam menghadapi gangguan-gangguan yang meungkin
menghadangnya. Karena hakikat tersebut anggota suatu sistem politik
mempunyai keuntungan, tetapi mereka tidak selalu mengambil kesempatan,
menanggapi tekanan yang demikian untuk dapat meyakinkan kelangsungan suatu
sistem dari membuat dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat.
Selanjutya, yang merupakan gambaran fenomena ini adalah bahwa sistem-sistem politik melalui reaksinya sendiri menanggapi berbagai tekanan sehingga mampu
bertahan walau dalam suatu perubahan dunia yang cepat dan ia menampilkan
masalah pokok untuk diselidiki secara teoritis. Gambaran teori sistem
menghadapi berbagai tekanan luar sama halnya dengan makhluk hidup atau
organisme yang mampu menangkal berbagai ganguan penyakit dan virus,
seperti manusia yang memiliki kekebalan dan mekanisme membunuh kuman,
bakteri dan virus.
Sedangkan, sumber-sumber tekanan sistem politik tidak harus bersifat sangat dramatis seperti perang-perang, revolusi, atau trauma sosial lainnya. Sesungguhnya,
secara normal semua sumber tersebut bersifat prosaik. Sumber-sumber
tersebut kemungkinan berasal dari kesatuan yang konstan, tekanan-tekanan
setiap hari dalam kehidupan politik. Tanpa bantuan dari berbagai kemelut
tertentu, nampaknya ia mampu menciptakan tekanan-tekanan serius pada
kemampuan sistem politik untuk tetap bertahan atau pada kemampuan anggota
masyarakat untuk meyakinkan sebuah kerangka untuk membuat dan
melaksanakan keputusan yang otoritatif. David Easton membagi sumber
tekanan itu menjadi dua yaitu sumber-sumber tekanan yang berasar dari
internal dan sumber-sumber tekanan yang berasal dari eksternal. Yakni
tekanan yang berasal dari lingkungan intara dan ekstra sosial.
Sumber tekanan internal berupa disorganisasi dan pengrusakan,
hubungan-hubungan antara para anggota sistem cenderung menjadi fokus-
bentuk-bentuk antagonisme yang paling mencolok dalam masyarakat. Dalam
masyarakat terdapat bermacam-macam sarana dalam mengatasi dan memcahkan
masalah tentang bagaimana nilai-nilai langka didistribusikan dan
digunakan.
Sedangkan yang menjadi tekanan eksternal biasanya adalah hal-hal yang luar
biasa yang memaksa masyarakat untuk tidak mampu menyelesaikan kemelut
dalam sistem politik, suatu keadaan yang bila terjadi akan menyebabkan
kejatuhan pada masyarakat tersebut secara keseluruhan. Sistem bisa
bertahan bila mampu mengatasi takanan-tekanan yang ada sehingga terjadi
Persistensi sistem itu sendiri.



DAFTAR PUSTAKA

Easton, David, Kerangka Kerja Analisis Sistem Politik, Jakarta : PT Bina Aksara, 1985
Mas’oed, Mohtar, dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta, Gadjah Mada Press. 1990,
Pribadi, Toto, Dkk., Sistem Politik Indonesia, Indonesia : Universitas Terbuka, 2006